Baca Juga
LELAKI sepuh itu kini merasa terganggu. Masa
pertapaannya yang sudah dilalui bertahun-tahun, apakah harus gagal hanya karena
seorang anak muda jahil? Pikirnya.
Tetapi, kejahilan tak berdasar itu jika
dibiarkan berisiko besar bagi kesepuhannya. Orang-orang akan tidak percaya lagi
pada kesaktian dan kewibawaan yang dimilikinya. Ia tak lagi dihormati dan
disegani, ia akan kehilangan kesempatan dianuti seluruh negeri. Padahal antara nama
dan ketokohan sudah tak terpisah dari dirinya. Bahkan mengekal?
Kau tahu siapa lelaki sepuh itu, yang tak
satu pun orang di negeri ini tak mengenal apalagi tak tahu padanya?setidaknya
mengenal nama sepuh sakti: dari tangannya banyak tercipta tembang-tembang
semacam macapatan atau kaba atau sejenisnya, ia juga pemikir yang
tiada tandingan di jagat intelektual negeri ini?pendapatnya selalu dibenarkan
dan dijadikan acuan oleh orang-orang lain; dan ia pun petapa yang diyakini
amatlah suci dan memiliki sebuah padepokan kanuragan dan olahseni.
Padepokan yang didirikannya dengan kesadaran
untuk mengabdi dan menyucikan jiwa dan akalnya itu, kini kerap dikunjungi
banyak orang yang ingin berlatih serta sekadar bertapa. Setiap hari tak terlalu
sedikit orang berada di padepokan itu: merenung, bermantra, berdiskusi, membaca
kitab-kitab kuno dan mutakhir; dan masih banyak lagi.
Dan lelaki sepuh itu tak pernah terusik dalam
pertapaannya. Sebab ia memiliki beberapa orang wali untuk mengurus padepokan
dan santri-santri lainnya. Hanya sesekali ia duduk berhadapan dengan para wali
dan santrinya. Itu pun tak banyak kata keluar dari bibirnya. Sesekali
mengangguk untuk membenarkan atau menggeleng jika ia tak sependapat, selebihnya
ia nikmati pertemuan dengan wali dan santrinya. Meski begitu, jika ada
kesepakatan yang harus diputuskan atas nama padepokan, ia tidak boleh
dilupakan.
Hukumnya haram kalau keputusan yang tidak
diketahui Respati, kata seorang wali di sana .
Harap maklum, setiap keputusan harus ada
goresan tangannya. Dianggap tidak kuat bahkan cacat secara padepokan, tanpa ada
dibubuhi tanda tangannya. Sementara itu, surat-surat yang tidak berimbas pada
nama pedepokan, cukuplah diketahui wali yang telah disepakati mewakili
padepokan. Termasuk wali yang dipercaya untuk bertugas di luar padepokan,
kecuali memberi tahu (melapor), sedangkan risiko baik dan buruk ditanggung wali
itu sendiri.
Ternyata cukup ampuh untuk mempertahankan
wibawa padepokan (dan tentu saja wibawa Respati). Para
wali yang bertugas nyambi d luar padepokan sampai sejauh ini masih
memberi kontribusi menguntungkan bagi padepokan. Seluruh ruang dan peluang anak
negeri berada dalam genggaman Padepokan Respati. Padepokan itu yang menentukan
dan mentahbis seseorang bisa berharga atau tidak, mau diakui atau dipinggirkan,
dan seterusnya.
Padepokan itu berada di tengah-tengah hutan
jati. Untuk mencapai tempat pertapaan Respati, harus melewati beberapa
pematang, hutan kecil, beberapa sungai baik kecil maupun besar, menyisir
pinggiran sungai yang airnya sangat sejuk, kemudian sedikit mendaki perbukitan,
barulah bentangan hutan jati yang amat sangat lebat. Batangnya menjulang tinggi
dan besar. Sedangkan padepokan terlindung oleh pagar terbuat dari potongan jati
yang sangat tinggi. Karena itu, jika kau berada di luar pagar tak akan terlihat
kehidupan yang berlangsung di dalamnya.
Itu sebabnya, penghuni padepokan dianggap
orang-orang terasing; layaknya komunitas kubu. Mereka sengaja mengisolasi diri.
Tidak suka bergaul dengan orang-orang di luar padepokan. Kelompok tersendiri.
Komunitas Padepokan Hutan Jati. Tapi, jangan sangka kalau mereka bodoh lantaran
kurang bergaul. Justru pintar dan cerdas-cerdas. Meski pergaulan mereka pada
tetangga kurang harmonis, namun persetubuhan pemikiran dengan orang-orang di
luar sana
sangat menggembirakan. Seperti pepatah walau lidah lokal, tapi otak tetap
global.
Introvert? Mungkin 'ya' jika
berhadapan denganmu. Akan tetapi, sesungguhnya mereka cuma hati-hati karena
merasa ilmu dan pengetahuan itu sangat sulit didapat. Kalau kau pintar, mungkin
mereka anggap akan berbahaya bagi kehidupan padepokan.
Respati sebagai suhu di padepokan itu, tidak
akan pernah tergeser oleh kekuatan apa pun. Kesuhuannya itu akan abadi. Sebab
itu bukan jabatan politis seperti biasa kau temukan di pemerintahan atau legislatif,
bisa berganti-ganti karena kepentingan seseorang dan kroni-kroninya. Pepatah di
dunia politik 'tiada teman abadi tak ada musuh abadi, yang ada adalah
kepentingan' sesungguhnya tak berlaku di dalam kehidupan padepokan.
Respati ya Respati. Ia sebagai pendiri, suhu,
pemimpin padepokan, dan petapa sakti. Itu kata seorang wali yang lain. Ia
selalu diberi kepercayaan untuk mempertemukan seluruh ahli kanuragan dan ahli
tembang sejagat. "Seperti saya, saya juga tidak tergantikan. Kecuali saya
tak lagi di padepokan ini atau meninggal dunia," kata Matahari.
"Begitulah keputusan yang sudah kami
sepakati di sini," sambung Tangga Awan, wali Respati lain yang ditugasi
memilih para cantrik di seantero negeri.
Artinya para wali di padepokan itu akan
selalu tunduk dengan segala kesepakatan yang telah disepakati. Tidak ada yang
berani coba-coba memberontak, bergunjing setelah keputusan diketuk, tidak boleh
iri pada tugas sesama wali, apalagi sampai menjelek-jelekkan padepokan dan
isinya kepada orang luar. Respati adalah muara, adalah pusat. Bagaikan sebuah
gasing, ia boleh berputar sekehendaknya. Namun tidak dibenarkan keluar dari
lingkaran, yakni bernama Respati. Moto padepokan 'ke dalam saling membangun,
keluar saling membela' benar-benar digenggam kukuh.
Apa yang terjadi di dalam padepokan, tak bisa
ditilik mata paling tajam dan mampu menembus apa pun. Padepokan itu layaknya
sebuah negeri di dalam negeri. Cuma kehidupan di dalam sana , siapa yang tahu? Maksudnya dalam laut
bisa diukur, tapi dalamnya hati siapa yang bisa tahu? Soalnya, sekali lagi.
Hutan jati yang membalutnya. Pagar batang jati yang menyembunyikan kehidupan di
dalamnya.
Itu sebabnya, kalau pun sekiranya di antara
penghuni padepokan saling tukar pasangan pun maka kasus itu tak akan sampai
terdengar oleh orang luar. Jika saja Respati memberi kebebasan setiap wali dan
cantriknya bebas memilih agama dan keyakinan adalah sah-sah saja, dan tak akan
terendus oleh orang luar. Atau apabila Respati hendak membebaskan seks di
padepokan, aroma itu pun tak akan tercium oleh siapa pun. Sesungguhnya itu
sudah berlangsung lama sekali.
***
MAKA ketika sekelompok orang hendak
menghancurkan padepokan dan memenggal leher Respati serta memenjara para
pengikutnya, Respati benar-benar merasa terusik. Pertapannya terganggu oleh
ulah segelintir orang, yang dianggapnya, ingin mencari ketenaran atau merebut
ketenaran dan kewibawaan.
"Mereka sudah keterlaluan. Mengganggu
orang yang sedang bertapa. Artinya sudah mengangkangi hak-hak kebebasan orang
lain. Harus dilawan!"
"Sabar sepuh," kata Matahari ingin
membendung amarah sepuhnya itu.
"Benar Pak Tua," Tangga Awan
menambahkan. Ia mendukung saran rekannya.
"Apa untungnya jika Mbah Respati
menanggapi anak-anak kecil itu? Mereka akan semakin besar kepala. Mereka akan
terkenal...." Jok Pekik ikut menimpali.
Respati urung. Ia mengangguk kecil. Membelai
janggutnya yang tak begitu lebat. Lalu mengelus-elus rambutnya yang nyaris
botak. Tetapi, karena wajahnya masih menyimpan amarah, makin tampak seperti
wajah monyet yang biasa setiap pagi bergantungan di pohon jati di belakang
salah satu bangunan padepokan: tempat Respati selama ini bertapa.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
Respati meminta saran dari para walinya.
"Diamkan saja. Itu akan menguntungkan
suhu. Artinya nama suhu akan semakin menjulang: dicatat dan dibicarakan banyak
orang," kata wali Wibawa.
Respati kembali mengangguk. Ia menurunkan
amarahnya hingga ke titik nol. Kembali ke joglonya untuk meneruskan
pertapaannya.
***
TETAPI apa yang dilakukannya tak berlangsung
lama. Orang-orang yang menggugatnya kian bertambah dan menjadi-jadi. Bahkan
sudah tidak beradab. Respati membatin. Meneror dengan segala fitnah, menyebar
kebusukan ke berbagai sudut dan papan pengumuman ataupun selebaran berantai.
"Mereka sudah keterlaluan. Tak bisa lagi
dibiarkan. Amat menjengkelkan. Bahkan menjijikkan. Mereka menyebar fitnah
seperti anak-anak yang mencoret-coret di dinding kakus!" kata Respati
geram. Kali ini dengan nada meninggi. Tak bisa lagi menahan amarahnya.
"Jadi, bagaimana suhu?"
"Apa yang harus kita lakukan
sepuh?"
"Apakah kita lawan juga dengan selebaran
berbau fitnah, wahai mbah Respati?"
"Tidaaaakkk!" teriak Respati.
Sungguh bertahun-tahun mereka mengenal dan
bergaul dengan Respati, baru kali ini suaranya meninggi seperti itu, melebihi
ringkikan kuda yang terluka karena dipecundangi saisnya. Mereka terheran-heran.
Tak percaya.
Apakah ini adalah penampakan asli sang
Respati? Pikir mereka.
Wajah Respati memerah. Degup nafasnya
membara. Kedua telapak tangannya mengepal. Entah siapa pula yang akan menjadi
sasaran tinjunya. Para wali mulai siaga: memasang kuda-kuda untuk sekadar
mengelak apabila ketupat bengkulu Respati benar-benar melayang. Atau ada yang
malah siap-siap untuk langkah seribu.
"Lalu, apa yang harus kita
lakukan?" sesaat kemudian setelah merasa Respati sudah bisa mengontrol
amarahnya, Matahari memberanikan diri bertanya.
"Yang saya inginkan, buat surat . Dan sebarkan ke
seluruh negeri ini. Minta saran mereka apa yang harus saya lakukan untuk
menghadapi orang-orang yang memfitnah saya. Setiap saran yang diterima akan
langsung saya cermati. Dan bagi saran yang baik akan saya turuti, sedangkan si
penyaran akan mendapatkan hadiah dari padepokan!"
"Siap sepuh!"
"Dilaksanakan mbah Respati!"
"Dengan senang hati kami akan laksanakan
apa yang Mbah Respati perintahkan..."
"Lakukan sekarang!" perintah
Respati.
Dan baru sekali ini Respati bertindak
perintah kepada wali-walinya. Meski para wali dan cantrik terheran-heran, tetap
memaklumi perasaan Respati yang sedang memendam amarah, dendam, dan gundah
gulana tentu saja. Soalnya, baru kali ini kewibawaannya terusik. Seperti
dipertanyakan, seakan diragukan dan dicurigai?
***
SURAT Respati yang bertajuk "Surat dari Hutan
Jati" itu akhirnya disebar ke berbagai penjuru di seantero negeri, melalui
media apa saja. Ada
yang ditempel di setiap pohon, dinding rumah, perempatan jalan, baliho di
kantor desa, sampai ke padepokan-padepokan yang ada, termasuk media informasi
lainnya.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Masa pertapaan saya yang cukup lama kini
terusik oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak beradab.
Mereka menyebar fitnah, baik kepada saya maupun ke Padepokan Hutan Jati, yang
intinya bahwa kami dianggap telah menyebarkan aliran sesat yang sangat
berbahaya bagi persendian peradaban.
Padepokan Hutan Jati difitnah sebagai
'kampoeng' yang hendak mendirikan negara dan ajaran-ajaran tersendiri. Tidak
lagi berjalan di atas rel dan norma-norma yang berlaku di masyarakat luar
padepokan. Fitnah yang amat keterlaluan dan sulit sekali dimaafkan ialah bahwa
kami dituduh penganut aliran payudara dan selangkangan. Setiap yang beraroma
kelamin perempuan dituding penyebarnya adalah Padepokan Hutan Jati.
Selain itu Padepokan Hutan Jati dituding
telah menerima bantuan dari orang-orang luar. Menciptakan keintiman yang
harmonis terhadap pendonor meski harus mengorbankan masyarakat luas.
Oleh karena itu, melalui Surat Hutan Jati
ini, saya Respati dan pemimpin/penanggung jawab Padepokan Hutan Jati menyatakan
semua tuduhan, tudingan, hujatan, dan fitnah itu tidak benar adanya. Saudara
bisa berkunjung dan melihat langsung ke padepokan kami.
Akhirnya, saya meminta saran dari
saudara-saudara: apa yang harus saya lakukan? Apakah melawan atau menyeret para
pemfitnah tersebut ke jalur hukum, ataukah harus saya diamkan? Mengingat memang
saya terlalu sibuk hanya untuk mengurus soal-soal seperti itu. Terlalu banyak
pekerjaan yang lebih besar daripada sekadar meladeni tudingan tak bertang jawab
yang cenderung fitnah itu.....
Salam saya, Respati--Padepokan Hutan
Jati"
Setelah membaca Surat dari Hutan Jati itu, kenapa kau
tersenyum? ***
Lampung,
September-Oktober 2007

0 komentar: