Baca Juga
SANGINDU
Ketika berjabat tangan, digenggamnya jemariku
erat-erat. Kedua matanya menatapku ramah. Disebutnya namanya dengan mantap,
"Sangidu!"
"Anwar," aku pun menyebut namaku.
"Lengkapnya?" Rupanya dia kurang
puas.
"Anwar Haryono!"
"Kuliahnya?" tanyanya lagi seperti
polisi menginterogasi. Kusebutkan nama tempat aku menuntut ilmu.
"Oooo…yang fakultasnya di sebelah
selatan Selokan Mataram , kan ?"
Aku mengangguk mengiyakan.
Dari ceritanya aku tahu bahwa ia menempati
kamar sebelah yang sewaktu kutinggal pulang berlibur masih kosong. Kamarnya
cuma dibatasi tembok dengan kamarku. Sehingga kalau ia membunyikan radio untuk
mendengarkan acara pilihan pendengar kegemarannya, aku pun terpaksa
mendengarnya.
Mas Ngidu, demikian ia minta agar aku
memanggilnya begitu, sangat memperhatikan diriku. Apabila pukul empat sore
belum mandi, aku diperingatkannya agar segera mandi. Sebab jika terbiasa mandi
terlalu sore, orang bisa sakit reumatik. Demikian katanya.
"Kita harus selalu menjaga kebersihan
kesehatan, Dik Anwar. Makan dan minum pun harus teratur. Apalagi Dik Anwar
masih kuliah. Jadi, harus selalu makan makanan yang bergizi. Supaya cepat jadi
insinyur. Jangan seperti diriku," Mas Ngidu menasihatiku banyak-banyak.
Pandang mata Mas Ngidu lurus ke depan.
Seperti ada duka yang tertimbun di dalamnya.
"Maksud Mas Ngidu?" aku bertanya.
Aku, hmmmm…dulu pernah kuliah di Fakultas
Kedokteran. Tapi, cuma tiga tahun karena tak ada lagi biaya. Jangankan untuk
biaya kuliah, untuk makan pun sulit."
Kenapa bisa begitu?"
Mas Ngidu memandang sekeliling, kemudian
berkata pelan. "Ayahku gila judi. Sawah ladang sampai habis
dijualnya."
"Oh," aku tertegun.
"Begitulah, Dik Anwar." Mas Mgidu
membetulkan letak duduknya. Kemudian berkata, "Tetapi aku tidak putus asa.
Aku laki-laki yang pantang menyerah. Meskipun sekarang aku cuma bekerja di
laboratorium rumah sakit, tapi aku cukup puas. Ketahuilah, Dik, aku pegawai
laboratorium yang terpercaya. Profesor Umbar, orang yang paling disegani oleh
dokter-dokter di rumah sakitku juga sangat memercayaiku."
Aku mengangguk –angguk.
"Apalagi calon-calon dokter yang masih
muda itu. Mereka banyak bertanya kepadaku!"
Belum selesai kami berbincang-bincang, datang
seorang gadis cantik dengan senyum kelopak mawar di bibirnya. Aku sempat
tertegun sejenak, kemudian menyambutnya.
"Kenalkan Mas Ngidu. Ini Diah! Diah
Permata Purnamasari, mahasiswi Fakultas Ekonomi," kataku sambil membimbing
Diah mendekati Mas Ngidu.
"Pacarmu, Dik Anwar? Namanya cantik
sekali, secantik orangnya." Mas Ngidu mengulurkan tangan dan Diah segera
menyambutnya.
Aku dan Diah cuma tersenyum.
Saat itu percakapan dengan Mas Ngidu terputus
karena Diah minta diantar ke Gramedia. Mencari buku.
* * *
Suatu siang sepulang kuliah aku langsung
tidur. Perut sudah kuisi gado-gado dan es jeruk di kafetaria fakultas. Kuliah
dari Profesor Sudarsono memang cepat membuat lapar. Entah berapa lama terlelap,
ketika terjaga Mas Ngidu sudah duduk di sampingku.
"Bangun, Dik Anwar, sudah sore! Ayo
cepat mandi!!"
Masih enggan rasanya. Namun, karena tak ingin
menyinggung perasaan Mas Ngidu, aku pun segera mandi. Mas Ngidu tentu
tersinggung bila aku tidak segera mandi. Dua bulan bergaul dengannya, aku pun
lantas cukup kenal tabiatnya.
Mas Ngidu masih membaca koran di kamarku
ketika aku selesai mandi.
"Dik Anwar," katanya sambil
meletakkan koran.
"Ya, Mas."
"Aku ingin bicara serius denganmu."
"Mengenai apa?" tanyaku sambil
mengeringkan rambut dengan handuk.
"Selama ini Dik Anwar sudah kuanggap
sebagai adik kandung sendiri, meskipun sebenarnya kita cuma kebetulan
bersama-sama menyewa kamar di tempat ini."
Aku diam dan masih belum mengetahui tujuan
kata-katanya.
"Terus terang, Dik, aku tak ingin
kuliahmu gagal. Pengalaman pahitku tak perlu kau ulang lagi."
"Lantas," aku bertanya sambil
mengenakan pakaian.
"Dik Anwar. Aku tahu, Diah memang gadis
yang cantik. Tapi, sebagai orang yang sudah cukup umur, aku dapat menduga bahwa
ia hanya cantik di luarnya saja. Hatinya belum tentu baik. Ini sangat
berbahaya. Padahal hubunganmu kurasa sudah terlalu intim."
Aku mulai tak senang mendengar kata-kata Mas
Ngidu.
"Lebih baik kau putuskan saja hubunganmu
dengannya. Ini demi masa depanmu! Nanti setelah kau diwisuda menjadi sarjana,
dengan mudah kau akan memeroleh gadis yang segalanya lebih daripada Diah.
Daaaan…"
"Permisi dulu, Mas," cepat aku
memotong kotbahnya.
"Lo, mau ke mana?"
"Praktikum," jawabku sekenanya.
"Sore-sore begini?" Mas Ngidu
terhenyak.
Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku
pergi. Semakin lama bosan juga mendengar kata-katanya. Mas Ngidu terlalu ikut
campur urusan orang lain. Itulah yang membuatku paling tak suka. Apalagi sampai
menyuruh memutuskan hubungan dengan Diah? Hmmm.
Jika Mas Ngidu ke kamarku, selalu saja ada yang
dibicarakannya. Menceritakan kehebatan-kehebatan dirinya. Memberi nasihat.
Melarang ini, melarang itu. Kadangkala ia mengulang cerita-cerita yang sudah
sering diceritakannya. Sebal! Perasaan itu yang sering kurasakan akhir-akhir
ini.
Aku tidak betah tinggal di rumah kos.
Sepulang kuliah lantas aku singgah di rumah teman, ke perpustakaan atau
main-main ke suatu tempat. Lama-lama itu pun membosankan.
Pindah rumah? Menyewa kamar di lain tempat
agar tidak lagi bertemu dengan Mas Ngidu? Itu juga tak mungkin. Aku telanjur
menyukai kamar yang kusewa. Sejuk! Tidak terlalu bising, tapi juga tidak jauh
dari pusat kota
Yogyakarta . Selain dekat dengan kampus, untuk
belajar pun sangat tenang. Tentu saja sebelum Mas Ngidu datang!
Ketika TVRI usai menyiarkan Dunia dalam
Berita, aku baru pulang. Mas Ngidu menyambutku. Rupanya dia sudah lama
menunggu.
"Praktikum, kok, sampai jauh malam
begini?"
"Ya!" jawabku sambil membuka pintu
kamar. Cepat-cepat kukatakan bahwa aku lelah sekali. Maksudku agar Mas Ngidu
tidak ke kamarku.
"Tidurlah, Dik Anwar! Rupanya kau
menemui kesulitan ketika praktikum tadi. Kau memang tampak letih," katanya
penuh perhatian. "Lain kali kalau mendapatkan kesulitan dalam praktikum
atau berhubungan dengan biologi, jangan malu-malu bertanyalah kepadaku!"
"Ya, ya, yaaa!" jawabku seperti
menirukan iklan KB.
Dengan aman aku tiduran. Geli rasanya
membayangkan rencana yang kubuat bersama Diah di Balairung Gedung Pusat, seusai
Diah kuliah. Suatu rencana yang akan kami lakukan atas diri Mas Ngidu agar ia
tidak terlalu menggangguku dengan cerita-ceritanya. Tapi, bagaimana kalau
gagal? Ah, mudah-mudahan berhasil. Memang, sebetulnya kami tak tega. Namun, apa
boleh buat!
* * *
Suatu pagi hari Jumat, Diah datang dengan
keadaan sangat panik. Sejenak berbicara denganku, kemudian pergi lagi dengan
tergesa. Aku terlongong-longong dibuatnya.
"Apa yang terjadi dengan Diahmu itu.
Tampaknya ia panik sekali?" Tiba-tiba Mas Ngidu sudah di muka pintu
kamarku.
"Gawat, Mas!!"
"Kenapa?"
"Dia…dia terlambat."
"Nah, apa kataku? Dia terlambat datang
bulan, kan ?
Sebagai mahasiswa kalian sudah bergaul terlalu intim. Dik Anwar pun ternyata
mengabaikan nasihatku. Kasihan orang tuamu kalau begini. Juga kasihan kota ini karena akibat
ulah orang-orang seperti kalian, maka kota
kita ini dikiranya pusatnya kumpul kebo." Mas Ngidu marah-marah.
Aku menunduk pucat.
"Namun, keterlambatan belum tentu bahwa
dia pasti hamil, kan ,
Mas?" Aku takut sekali.
"Nanti mintalah urine Diah, biar
kuselidiki!" perintahnya tanpa menjawab pertanyaanku.
"Kebetulan Diah juga sudah membawa. Itu
dalam botol kecil."
Mas Ngidu segera ke laboratorium. Sebuah
botol kecil berisi air kencing berada dalam tas yang dibawanya. Di rumah aku
menanti hasil penyelidikan Mas Ngidu. Membaca koran kampus sambil mendengarkan Slow
Rock Memory.
"Bangun, Dik Anwar, bangun!" Mas
Ngidu mengambil koran yang menutupi wajahku.
Aku segera duduk. Jam duduk di atas meja
menunjuk angka sebelas lebih.
"Bagaimanapun kau harus berani
bertanggung jawab!" desis Mas Ngidu sambil menatap tajam wajahku.
"Kenapa, Mas?’
"Tadi sudah kuselidiki. Hasilnya
positip. Berarti Diah hamil!"
"Ah. Apakah Mas Ngidu tidak
keliru?"
Mas Ngidu tertawa terbahak. Dengan nada
mengejek dia berkata, "Tiga tahun lagi umurku empat puluh. Aku bekerja di
laboratorium sejak usia dua puluh tiga. Rupanya kau lupa, profesor yang
disegani dokter-dokter sangat memercayaiku. Mana mungkin aku keliru?"
"Jadi….Diah benar-benar hamil?" Aku
tergagap-gagap. Pucat.
"Ya! Aku pekerja laboratorium yang
berpengalaman. Tidak mungkin aku keliru," katanya bangga. "Dik Anwar,
kau tak perlu menyesal. Itulah akibatnya kalau kau menyepelekan semua
nasihatku!"
Tawa Mas Ngidu meledak lagi ketika ia melihat
wajahku semakin pucat. Mungkin dikiranya aku takut dengan kehamilan Diah.
Seandainya itu yang terjadi dan memang aku penyebabnya, tentu saja aku berani
bertanggung jawab. Siapa takut? Akan kulamar Diah untuk menjadi istriku. Itu
pasti!
Namun, yang kutakutkan adalah hasil
penyelidikan Mas Ngidu. Positip? Berarti hamil? Sungguh fantastis! Padahal
botol kecil yang kuberikan kepada Mas Ngidu jelas berisi air kencingku. Sama
sekali bukan milik Diah! Ah, dapatkah laki-laki seperti diriku ini hamil? He he
he. Aku geli. Tak dapat berpura-pura lagi.
Setelah kuberitahukan hal yang sebenarnya,
tawa Mas Ngidu terputus. Dia pucat seketika. Namun, akhirnya kami tertawa
bersama-sama. Sejak saat itu Mas Ngidu tak pernah membual lagi.***

0 komentar: