Baca Juga
Saya diperintahkan untuk bersembunyi oleh
kedua teman saya, Beno dan Aep. Katanya, saya sedang dicari oleh beberapa orang
berbadan kekar dan berwajah seram. Ada
urusan apa mereka mencari saya? Sungguh saya tak mengerti.
"Sudah, pokoknya kau jangan muncul dulu
barang beberapa hari, situasinya cukup gawat. Aku nggak rela temanku diculik
seperti yang sering terjadi baru-baru ini," tutur Beno, teman saya yang
pertama kali menyuruh saya untuk bersembunyi.
"Benar Bim, kau harus hati-hati. Di era
reformasi ini, banyak orang berlaku sewenang-wenang, main jarah, main culik,
main bunuh. Aku nggak mau hal itu menimpa dirimu," sambung Aep membuat
saya semakin tak mengerti.
"Iya, tapi aku ingin tahu dulu
masalahnya, kenapa orang yang tak kukenal itu berusaha mencari aku?"
"Aku juga kurang tahu, Bim. Tetapi
kayaknya mereka nggak main-main. Mereka serius mau bikin perhitungan dengan
kau!" tegas Beno.
"Aku bukan aktivis, Ben. Bukan pula
orang dari golongan tertentu. Kalian tahu' kan , kita cuma tukang asongan. Tukang
menjajakan barang asongan di lampu-lampu merah? Kadang menjual koran, air
mineral, sekali-kali ngamen kalau malas dagang, tak lebih dari itu."
"Ssstt, sudah! Jangan banyak omong. Keadaan sekarang benar-benar lagi gawat. Yang penting sekarang, kau harus sembunyi. Titik!"
"Ssstt, sudah! Jangan banyak omong. Keadaan sekarang benar-benar lagi gawat. Yang penting sekarang, kau harus sembunyi. Titik!"
* * *
Tiba-tiba saya merasa jadi seorang buronan
untuk pertama kali. Padahal berbuat salah terhadap orang sekalipun rasanya
belum. Untuk menghindari hal yang tidak saya inginkan, akhirnya terpaksa saya
jarang keluar rumah. Tidak berjualan ataupun iseng main ke perempatan jalan
atau lampu merah tempat kami mencari sesuap nasi.
Dalam perenungan saya siang dan malam, saya
berusaha mencari tahu apa sebab Beno dan Aep melarang saya berjualan di
perempatan jalan itu. Walau mereka mengatakan hal itu demi keselamatan diri
saya, tetap saja saya penasaran dan kurang paham akan masalahnya. Apa sih
kasusnya? Pikir saya. Begitu pentingkah diri saya sehingga ada orang mencari
saya.
Ah, kalau hanya bertemu saja, kenapa harus
takut, harus sembunyi? Hadapi saja dahulu, resiko belakangan! Pikir saya yang
lain. Tetapi kalau saya bertemu dengan orang-orang yang dimaksud teman-teman
saya itu, apa saya akan aman-aman saja? Bagaimana kalau tiba-tiba saja saya
diculik seperti yang dikatakan oleh kedua teman saya itu. Wah, bisa berabe.
Saya tak ingin seperti para aktivis yang diculik beberapa tahun lalu. Dan kalau
saya dianggap sebagai aktivis apa pantas?
Memang saya pernah bercerita penuh tentang kejadian
penembakan terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada salah
seorang wartawan pada zaman krisis reformasi dulu karena secara kebetulan saat
penembakan itu terjadi saya berada tepat di bawah jembatan.
Dan juga saya ceritakan tentang adanya
beberapa kelompok tertentu membakar puluhan toko di mana di dalamnya terdapat
puluhan penjarah sedang beraksi. Nah, apakah karena pengaduan tentang kejadian
yang sudah cukup lama itu keselamatan diri saya terancam, tetap jadi target
bagi 'orang' tertentu? Ataukah karena wartawan itu menulis nama saya
jelas-jelas sebagai narasumbernya? Kayaknya tidak mungkin. Sebab kode etik
jurnalistik tetap dipegang teguh oleh semua wartawan.
Sudah dua minggu ini saya menyembunyikan
diri. Bosan juga rasanya. Apalagi persediaan makanan sudah habis. Untuk keluar
rumah saya takut diciduk. Namun rasa bosan di rumah semakin jadi siksaan bagi
diri saya. Jenuh menunggu sesuatu yang tak pasti. Akhirnya saya menemukan
alternatif lain untuk tetap bisa keluar rumah dan bisa melihat keadaan di jalan
yaitu dengan cara membotaki kepala, pakai topi kupluk ala ABG, kemudian
bersembunyi dibalik kaca mata hitam.
***
Matahari siang itu begitu panas menyengat. Saya berdiri di sebuah halte bus. Berbaur dengan para calon penumpang. Di ujung mata memandang, kemacetan ada di mana-mana. Beberapa petugas dari kepolisian berjaga-jaga disudut-sudut jalan. Saya kurang tahu untuk menjaga apa atau siapa? Saya bergerak menuju daerah di mana kami sering mengasongkan dagangan.
Matahari siang itu begitu panas menyengat. Saya berdiri di sebuah halte bus. Berbaur dengan para calon penumpang. Di ujung mata memandang, kemacetan ada di mana-mana. Beberapa petugas dari kepolisian berjaga-jaga disudut-sudut jalan. Saya kurang tahu untuk menjaga apa atau siapa? Saya bergerak menuju daerah di mana kami sering mengasongkan dagangan.
Saya berdiri di bawah pohon mahoni, kira-kira
seratus meter dari tempat Beno dan Aep menjajakan dagangannya. Didekat lampu
merah, saya melihat Gito sedang asyik mengamen dihadapan pengemudi mobil sedan
yang kacanya sedikit terbuka. Aep menawarkan koran dan majalah ke beberapa
orang yang berada di dalam mobil sedan yang terjebak lampu merah. Beno sedang
asyik melayani pembeli majalah yang dijualnya tepat di belakang mobil di mana
Gito sedang mengamen. Menoleh ke belakang, saya melihat Marni, si tukang jamu
gendong sedang melayani pembeli seorang tukang plistur di depan toko meubel.
Marni, si tukang jamu gendong itu pernah saya cium bibirnya di belakang toko
meubel itu.
Asyik juga pacaran sama tukang jamu, setiap
ketemu minum jamu gratis. Jadi anak jalanan banyak asyiknya. Saya sering
melihat dua insan di dalam mobil saling berciuman mesra di saat mereka terjebak
lampu merah. Pada malam hari, saya pernah ditantang oleh seorang pelacur untuk
datang ke tempat kostnya. Nggak bayar, katanya.
Tetapi tidak saya turuti karena saya takut
ketularan penyakit kotor. Ada
lagi seorang tante mengendarai Honda Civic. Waktu itu mobilnya mogok tepat di
depan saya. Saya hampiri untuk menolongnya. Ketika saya bukan kap mesin, ada
salah satu kabel delkonya lepas. Setelah saya pasang, mobilnya bisa jalan
kembali. Selain uang, saya dikasih kartu nama.
"Kalau mau pekerjaan, datang saja ke
alamat ini," tawarnya dengan mata menantang. Senang sekali saya waktu itu.
Maka, dua hari kemudian saya datangi alamat yang tertera di kartu nama itu.
Tidak sulit mencari alamat perempuan itu. Sebuah rumah yang cukup megah menurut
saya, berada di sebuah kompleks perumahan yang jauh dari keramaian kota . Saat itu saya
membayangkan akan mendapat pekerjaan yang bisa menopang hidup saya kelak.
Tapi lacur, setelah bertemu, perjaka saya
'dijarah' seharian penuh. Imbalannya adalah duit dalam amplop yang diselipkan
ke saku celana jean saya. Kapok? Saya tak bisa menjawab, sebab ketika saya
datangi lagi tante yang bernama Farida itu ternyata sudah pindah rumah. Kata
penjaga rumah itu tante Farida hanya sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Ah,
terkejutlah saya pada waktu itu.
Itulah pengalaman sebagai anak jalanan.
Mungkin Beno, mungkin Aep atau anak jalanan lainnya tentu pernah mempunyai
pengalaman menarik menurut pribadi masing-masing. Seperti sekarang ini, saya
harus bersembunyi dari pencarian sekelompok orang yang konon badannya
kekar-kekar, dus bukan orang sembarangan. Saya takut sekali.
Tetapi saya rindu kepada teman-teman
seprofesi. Minimal bisa melihat mereka mencari sesuap nasi di tempat biasa kami
mangkal. Dan sekaranglah bisa terlaksana, saya bisa melihat mereka berjualan,
mengamen dan sebagainya. Sebagai anak jalanan, selain itu saya juga sering
melihat kejadian umum dijalanan. Misalnya kecelakaan, pejambretan, anak sekolah
tawuran, mobil tabrakan, orang yang tertabrak mobil, jatuh dari bus kota , mahasiswa
berdemontrasi, para buruh berunjuk rasa sepanjang jalan dan melakukan long
march menuju gedung DPR, itu semua pernah saya saksikan.
Tetapi tak sekalipun saya ikut demontrasi
dalam kasus apapun. Namun, kenapa saya harus takut keluar rumah? Tanya saya
dalam hati. Beno dan Aep menyampaikannya serius sekali. Mereka seperti tidak
main-main. Apa salahnya saya percaya pada mereka. Siapa tahu benar. Dan jika
saya diculik, habislah saya. Kalau hanya diculik dan diberi makan setiap hari,
itu tak jadi soal. Justru saya senang. Ngapain susah-susah dagang, mendingan
diculik tapi kebutuhan dijamin! Kelakar saya dalam hati. Tapi kalau sampai
disiksa, bagaimana rupa wajah saya nanti, bisa-bisa cacat seumur hidup. Kalau
masih hidup masih untunglah, tapi kalau sampai dibunuh dan mayatnya dibuang di
laut, bagaimana jadinya. Saya akan tinggal nama. Keluarga dan teman-teman akan
kehilangan saya.
Dan mereka tidak akan bisa menemukan mayat
saya. Ke mana mereka akan melapor, pasti bingung. Keluarga saya buta hukum.
Namanya juga orang kampung tahu apa?
* * *
Di rumah atau di manapun saya berada,
bayangan orang-orang yang ingin menemui saya kian menghantui pikiran. Apa
mereka percaya kalau saya tidak tahu apa-apa pada masalah yang bakal mereka
tuduhkan kepada saya nantinya? Kalau saya harus dipaksa mengaku padahal saya
tidak berbuat, itu berarti saya telah mengkhianati hati nurani saya sendiri.
Apa saya mau dijadikan tumbal politik? Mustahil! Terlalu jauh bila sampai ke
urusan politik segala.
Sudah satu bulan saya bersembunyi. Merubah
penampilan setiap mau keluar rumah. Begitu setiap saya mau melakukan aktivitas
di luar. Dan hari ini saya bosan di rumah. Jenuh. Terasa dunia kian sempit dan
menciut. Dalam pikiran kalut dan kusut, saya nekat keluar rumah lagi.
Mendatangi tempat biasa saya mangkal.
Seperti biasa pula tak ada teman yang
mengenali penyamaran saya. Saya berdiri di bawah pohon mahoni, bertopi kupluk
dan berkaca mata hitam, mungkin saya persis dengan tampang perampok belum
mandi. Masa bodoh! Bising kendaraan berbaur dengan suara pedagang asongan dan
suara pengamen yang sama-sama mencari sesuap nasi. Saya amati orang-orang yang
berada di lampu merah. Ada Beno dan Aep sedang menjajakan koran dan majalah.
Juga beberapa teman mencari sesuap nasi di sekitar halte bus. Barangkali ada
orang berbadan kekar seperti intel atau oknum tertentu yang disebut-sebut Beno
dan Aep sedang mencari diri saya. Tetapi, sudah duakali ini saya ke tempat itu,
belum pernah melihat adanya orang yang tampangnya mencurigakan. Akhirnya saya
jadi penasaran, apa benar orang yang disebut Beno dan Aep itu benar-benar ada?
Tiba-tiba saya melihat Gito sedang mengamen di dekat lampu merah.
Tanpa sepengetahuan Beno dan Aep, saya
panggil Gito. Pada awalnya Gito tak mengenali tampang saya. Tapi setelah saya
buka kaca mata dan topi kupluk yang saya pakai, barulah teman saya itu dapat
mengenali diri saya sesungguhnya.
"Hai Bima, ke mana saja kau?" sapa
Gito setengah berlari ke arah saya.
Saya dekatkan telinga Gito ke mulut saya,
"Gito, aku mau tahu, apa benar ada intel mencari aku?" Gito
merenggangkan badannya. "Kata siapa?"
"Beno dan Aep," bisik saya lagi.
Gito tiba-tiba tertawa lepas. Tapi cepat saya tutup mulutnya. "Ini serius
Gito, jangan ketawa kau!"
"Siapa yang mencari kau, heh? Justru aku
yang mencari kau ke mana saya selama ini!"
"Jadi nggak ada orang yang mencari
aku?" kejar saya penasaran.
"Ah, itu cuma ulah si Beno dan Aep saja
supaya kau tak berjualan lagi di daerah ini. Sebab yang kutahu, jika kau tak
berjualan di sekitar lampu merah ini, maka tinggal merekalah berdua yang
menguasai daerah ini. Paham kau sekarang?"
Deesss terasa dalam pukulan yang dibentuk
dari akal Beno dan Aep teman seprofesi saya itu. Sakit hati saya ditipu mereka.
Terasa ada darah yang mendidih di ujung-ujung kepalan tangan saya. Saya melihat
Beno dan Aep sedang menghitung uang hasil penjualan koran dan majalah yang
mereka jajakan di wilayah yang nyaris sepuluh tahun saya tempati untuk menjajakan
koran dan majalah yang sama. Satu bulan cukuplah saya ditipu mentah-mentah
untuk tak berjualan di situ. Sekarang saya berpendapat, lebih baik mereka
menghitung berapa menit lagi bisa menghirup udara kota ini!
***

0 komentar: